YOUR CORPORATE PARTNER TO BUILD, SUSTAIN & THRIVE
- +62 811-1185-6060
- info@gosustain.id
Setiap tanggal 8 Juni, dunia memperingati Hari Laut Sedunia sebagai momentum untuk kembali mengingat betapa vitalnya peran laut dalam kehidupan manusia. Laut bukan sekadar tempat berlibur atau menikmati panorama indah, tetapi juga penopang utama kehidupan di bumi. Dari menyediakan oksigen hingga menjadi rumah bagi ribuan spesies, laut berfungsi sebagai ekosistem raksasa yang menopang keberlangsungan hidup kita.
Di balik semua itu, ada satu elemen penting yang sering kali terabaikan, yaitu blue carbon atau karbon biru. Konsep ini merujuk pada karbon yang diserap dan disimpan oleh ekosistem pesisir, seperti mangrove, padang lamun, dan rawa garam. Perannya sangat penting dalam melawan perubahan iklim sekaligus menjaga kelestarian ekosistem laut.
Blue carbon adalah istilah untuk karbon yang tersimpan di ekosistem laut dan pesisir. Mangrove, padang lamun, dan rawa garam menjadi “penyimpan karbon alami” yang efektif. Ekosistem ini bekerja layaknya spons raksasa, menyerap karbon dioksida (CO₂) dari atmosfer lalu menyimpannya dalam tanah maupun biomassa tumbuhan selama ratusan hingga ribuan tahun.
Bayangkan blue carbon sebagai “pahlawan super tak terlihat” yang melindungi bumi. Ia bekerja tanpa henti, mengurangi gas rumah kaca yang berlebihan, serta menjaga iklim agar tetap seimbang. Tanpa adanya ekosistem penyerap karbon ini, dampak krisis iklim akan semakin parah.
Selain karbon biru, ada juga istilah green carbon atau karbon hijau. Keduanya sama-sama berfungsi menyimpan karbon, tetapi lokasinya berbeda.
Green carbon diserap oleh ekosistem darat, seperti hutan, padang rumput, dan vegetasi lainnya.
Blue carbon tersimpan di ekosistem pesisir dan laut, misalnya mangrove, lamun, serta rawa garam.
Menariknya, penelitian menunjukkan bahwa laju penyimpanan karbon pada ekosistem laut bisa jauh lebih tinggi dibandingkan hutan di daratan. Bahkan menurut data IUCN (International Union for Conservation of Nature), kemampuan ekosistem karbon biru menyimpan karbon bisa mencapai 50 kali lebih besar per unit area dibandingkan hutan tropis.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia punya kekayaan ekosistem karbon biru yang sangat besar. Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), potensi penyimpanan karbon biru Indonesia mencapai sekitar 3,4 gigaton (GT) atau sekitar 17% dari total cadangan karbon biru dunia.
Potensi sebesar ini menempatkan Indonesia pada posisi strategis dalam upaya global mengurangi emisi karbon. Dengan menjaga ekosistem pesisir, Indonesia tidak hanya melindungi keanekaragaman hayati laut, tetapi juga berkontribusi besar dalam menahan laju perubahan iklim dunia.
Sayangnya, keberadaan blue carbon tidak selalu aman. Ekosistem pesisir yang menjadi penyerap karbon menghadapi banyak ancaman, terutama akibat ulah manusia. Beberapa tantangan yang mengancam kelestariannya antara lain:
Perusakan hutan mangrove untuk lahan tambak atau pembangunan.
Reklamasi pantai yang merusak ekosistem pesisir.
Polusi laut, terutama limbah plastik dan bahan kimia berbahaya.
Perubahan iklim, yang memicu naiknya permukaan laut dan mengganggu keseimbangan ekosistem.
Jika blue carbon rusak, dampaknya akan terasa luas. Selain meningkatnya emisi karbon, kita juga berisiko kehilangan perlindungan alami terhadap abrasi, banjir rob, hingga badai. Belum lagi ancaman hilangnya habitat ribuan spesies laut yang hidup di kawasan pesisir.
Kehilangan ekosistem karbon biru berarti kehilangan perisai alami bumi. Beberapa konsekuensi yang bisa terjadi adalah:
Bencana alam meningkat – abrasi, erosi, hingga badai lebih mudah menghantam wilayah pesisir.
Kehilangan keanekaragaman hayati – ikan, udang, dan biota laut lain kehilangan habitatnya.
Naiknya emisi karbon – mempercepat pemanasan global dan memperburuk krisis iklim.
Dampak sosial dan kesehatan mental – penelitian menunjukkan krisis iklim bisa memicu kecemasan, depresi, hingga stres berkepanjangan bagi masyarakat yang terdampak.
Melestarikan blue carbon bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat. Ada beberapa langkah penting yang bisa dilakukan:
Konservasi ekosistem pesisir
Melindungi mangrove, padang lamun, dan rawa garam dari alih fungsi lahan. Rehabilitasi juga perlu dilakukan di wilayah yang sudah rusak.
Edukasi dan pelibatan masyarakat
Memberikan pemahaman kepada masyarakat pesisir tentang pentingnya karbon biru, sekaligus melibatkan mereka dalam pengelolaan.
Dukungan kebijakan pemerintah
Pemerintah Indonesia sudah memiliki regulasi terkait pengelolaan wilayah pesisir, seperti UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 dan Perpres No. 121 Tahun 2012. Implementasi kebijakan ini perlu diperkuat.
Aksi sederhana sehari-hari
Mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.
Mengikuti kegiatan bersih pantai dan sungai.
Mendukung lembaga konservasi dengan donasi atau menjadi relawan.
Menyebarkan informasi pentingnya blue carbon agar semakin banyak orang peduli.
Laut adalah paru-paru kedua dunia. Dengan menjaga blue carbon, kita sebenarnya menjaga masa depan bumi. Ekosistem pesisir yang sehat tidak hanya bermanfaat bagi biota laut, tetapi juga bagi manusia. Ia melindungi kita dari bencana, menyerap karbon penyebab perubahan iklim, sekaligus menyediakan sumber daya alam berlimpah.
Menjaga blue carbon berarti menjaga keberlanjutan kehidupan. Peran serta masyarakat, dukungan kebijakan, dan aksi nyata menjadi kunci agar “superhero biru” ini tetap kuat melindungi bumi.
Mulailah dari langkah kecil, seperti mengurangi sampah plastik atau mendukung kegiatan konservasi. Karena setiap tindakan sederhana yang kita lakukan hari ini, akan memberi dampak besar bagi generasi mendatang.
PT GLOBAL SUSTAINABILITY & DIGITAL CONSULTING
GOSUSTAIN
Copyright © 2025. All rights reserved.